PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Modernisasi merupakan suatu yang alamiah
terjadi dalam perkembangan suatu Negara, modernisasi sering diartikan sebagai
peroses perubahan dari masyarakat yang bercorak tradisional ke masyarakat
negara yang bercirikan modern. Negara tradisional biasanya sebagian besar
masyarakatnya hidup dari sektor pertanian, berorientasi masa lalu, masyarakat
agamis, gotong royong, statis, primitif, dan tertutup. Sedangkan ciri negara
modern biasanya sebagian besar masyarakatnya hidup di sektor industri, Future Oriented, Sekuler, individual,
dinamis, dan terbuka. Berbagai keunggulan dan manfaat serta didukung oleh tren
perkembangan dunia, banyak negara dan hampir disemua negara melakukan proses
modernisasi yang dicirikan dalam proses pembangunan disegala sektor, dan merubah
corak tradisional negara ke bentuk modern lewat proses industrialisasi.
Modernisasi
menunjukkan suatu proses dari serangkaian upaya untuk menuju atau menciptakan
nilai-nilai (fisik, material dan sosial) yang bersifat atau berkualifikasi
universal, rasional, dan fungsional. Lazimnya dan sering dipertentangkan dengan
nilai-nilai tradisi. Hal ini berhubungan dengan perubahan orientasi. Yang
dimaksudkan orientasi atau arah perubahan di sini meliputi beberapa orientasi,
yaitu perubahan dengan orientasi pada upaya meninggalkan faktor-faktor atau
unsur-unsur kehidupan sosial yang mesti ditinggalkan atau diubah, perubahan
dengan orientasi pada suatu bentuk atau unsur yang memang bentuk atau unsur
baru, dan suatu perubahan yang berorientasi pada bentuk, unsur atau nilai yang
telah eksis atau ada pada masa lampau. Tidak jarang suatu masyarakat atau suatu
bangsa yang selain berupaya mengadakan proses modernisasi pada berbagai bidang
kehidupan seperti dalam aspek ekonomis, birokrasi, pertahanan keamanan, dan
bidang iptek.
Industri otomotif bisa dikatakan sebagai salah satu mesin
penggerak moderenisasi dalam pembangunan transfortasi nasional dan pertumbuhan
ekonomi, sekaligus menandai ledakan kemakmuran dalam pembangunan suatu negara.
Industri otomotif pula menjadi ciri kemunculan negara yang mendominasi
perekonomian dunia. Tentunya yang menjadi pertanyaan, apakah Indonesia mampu
atau apakah diperlukan untuk mewujudkan impian memiliki mobil nasional (mobnas)
tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
sejarah perkembangan industri mobil nasional?
2.
Apa saja faktor
penghambat industri mobil nasional?
1.3 Tujuan
1.
Untuk mengetahui
sejarah perkembangan industri mobil nasional
2.
Untuk mengetahui
faktor penghambat industri mobil nasional
1.4 Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu ada dua,
diantaranya ;
1.
Manfaat Secara Teoritis
·
Dapat memberikan pengetahuan mengenai bagaimana
sejarah perkembangan industri mobil nasional
·
Dapat memberikan pengetahuan mengenai apa saja faktor
penghambat industri mobil nasional
2.
Manfaat Secara Praktis
·
Agar mahasiswa Jurusan Pendidikan Geografi 2010 lebih mengetahui bagaimana sejarah
perkembangan industri mobil nasional
· Menambah wawasan bagi
mahasiswa sehingga dapat mengetahui pembangunan transportasi Indonesia
khususnya rencana pembangunan industri mobil nasional
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1
Pengertian
dan Definisi
2.1.1
Pembangunan
Pembangunan dapat diartikan sebagai `suatu upaya
terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada
setiap warga negara untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya yang paling
manusiawi (Nugroho dan Rochmin Dahuri, 2004).
Siagian
(1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu usaha atau
rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara
sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka
pembinaan bangsa (nation building)”. Sedangkan Ginanjar Kartasasmita (1994) memberikan
pengertian yang lebih sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah
yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana”.
Jadi pembangunan dapat diartikan sebagai
Suatu upaya yang dilakukan secara sadar, terkoordinasi dan terencana menuju
modedernitas dan perubahan yang lebih baik.
2.1.2
Modernisasi
Modernisasi adalah suatu
bentuk dari perubahan sosial yang terarah yang didasarkan
pada suatu perencanaan yang biasanya dinamakan social planning (Soekanto, 2006).
Schorrl
(1980) memberikan pengertian tentang modernisasi sebagai Suatu proses penerapan
ilmu pengetahuan dan teknologi kedalam segi kehidupan manusia dengan tingkat
yang berbeda-beda tetapi tujuan utamanya untuk mencari taraf hidup yang lebih
baik dan nyaman dalam arti yang seluas-luasnya, sepanjang masih dapat diterima
oleh masyarakat yang bersangkutan.
Jadi
modernisasi adalah suatu proses perubahan sosial serta proses penerapan ilmu
penegetahuan dan teknologi kedalam segi kehidupan manusia yang didasari pada
suatu perencanaan untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik.
2.2
Pembangunan
dan Modernisasi
Pembangunan
merupakan bentuk perubahan sosial yang terarah dan terncana melalui berbagai
macam kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.
Bangsa Indonesia seperti termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
telah mencantumkan tujuan pembangunan nasionalnya. Kesejahteraan masyarakat
adalah suatu keadaan yang selalu menjadi cita-cita seluruh bangsa di dunia ini.
Berbagai teori tentang pembangunan telah banyak dikeluarkan oleh ahli-ahli
sosial barat, salah satunya yang juga dianut oleh Bangsa Indonesia dalam
program pembangunannya adalah teori modernisasi. Modernisasi merupakan
tanggapan ilmuan sosial barat terhadap tantangan yang dihadapi oleh negara
dunia kedua setelah berakhirnya Perang Dunia II.
Modernisasi menjadi sebuah model pembangunan yang berkembang
dengan pesat seiring keberhasilan negara dunia kedua. Negara dunia ketiga juga
tidak luput oleh sentuhan modernisasi ala barat tersebut. berbagai program
bantuan dari negara maju untuk negara dunia berkembang dengan mengatasnamakan
sosial dan kemanusiaan semakin meningkat jumlahnya. Namun demikian kegagalan
pembangunan ala modernisasi di negara dunia ketiga menjadi sebuah pertanyaan
serius untuk dijawab. Beberapa ilmuan sosial dengan gencar menyerang
modernisasi atas kegagalannya ini. Modernisasi dianggap tidak ubahnya sebagai
bentuk kolonialisme gaya baru, bahkan Dube (1988) menyebutnya seolah musang
berbulu domba
2.3
Faktor – faktor budaya yang menghambat pembangunan
1. Sikap
Tradisionalistik, yakni sikap yang mementingkan
tradisi yang diterima dari generasi-generasi sebelumnya sebagai pegangan hidup.
Tradisi dapat berasal dari praktek hidup yang sudah berjalan lama, ini disebut
tradisi kultural. Dapat pula berasal dari keyakinan keagamaan yang berpangkal
pada wahyu, ini disebut
tradisi keagamaan.
2. Vested Interest, yakni teori komunikasi yang bertujuan untuk menjelaskan bagaimana mempengaruhi perilaku
dampak. Seperti yang didefinisikan oleh William Crano , kepentingan mengacu pada jumlah bahwa obyek sikap
dianggap hedonically relevan oleh pemegang sikap (Crano, 1995). Dalam ide Crano dari
kepentingan pribadi, jika objek sikap adalah subyektif penting dan konsekuensi
pribadi yang dirasakan adalah signifikan, akan ada kesempatan lebih besar sikap
individu akan dinyatakan perilaku. Sebagai contoh, individu yang berusia 30
tahun diceritakan bahwa usia mengemudi hukum sedang mengangkat 16-17 di negara
bagiannya. Sementara ia mungkin tidak setuju dengan hukum ini, ia tidak
dipengaruhi seperti operator kendaraan berusia 15 yang prospektif dan tidak
mungkin terlibat dalam memprotes perubahan.
3. Prasangka buruk
terhadap sesuatu yang baru , yakni maksudnya masyarakat sudah berfikiran buruk
terhadap pembangunan yang menyebabkan terhambatnya pembangunan.
4. Kekhawatiran
terjadi kegagalan pada integrasi budaya
5. Hambatan yang bersifat ideologis
6. Komunikasi yang blum lancar
7. Tingkat Pendidikan yang rendah
2.4
Indikator
Keberhasilan Pengukuran Pembangunan
Penggunaan
indicator dan variable pembangunan bisa berbeda untuk setiap Negara. Di
Negara-negara yang masih miskin, ukuran kemajuan dan pembangunan mungkin masih
sekitar kebutuhan-kebutuhan dasar seperti listrik masuk desa, layanan kesehatan
pedesaan, dan harga makanan pokok yang rendah. Sebaliknya, di Negara-negsara
yang telah dapat memenuhi kebutuhan tersebut, indicator pembangunan akan
bergeser kepada factor-faktor sekunder dan tersier (Tikson, 2005).
Sejumlah
indicator ekonomi yang dapat digunakan oleh lembaga-lembaga internasional
antara lain pendapatan perkapita (GNP atau PDB), struktur perekonomin,
urbanisasi, dan jumlah tabungan. Disamping itu terdapat pula dua indicator
lainnya yang menunjukkan kemajuan pembangunan sosial ekonomi suatu bangsa atau
daerah yaitu Indeks Kualitas Hidup (IKH atau PQLI) dan Indeks Pembangunan
Manusia (HDI). Berikut ini, akan disajikan ringkasan Deddy T. Tikson (2005)
terhadap kelima indicator tersebut :
1.
Pendapatan perkapita
Pendapatan per kapita, baik dalam ukuran GNP maupun PDB
merupakan salah satu indikaor makro-ekonomi yang telah lama digunakan untuk
mengukur pertumbuhan ekonomi. Dalam perspektif makroekonomi, indikator ini
merupakan bagian kesejahteraan manusia yang dapat diukur, sehingga dapat
menggambarkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Tampaknya pendapatan per
kapita telah menjadi indikator makroekonomi yang tidak bisa diabaikan, walaupun
memiliki beberapa kelemahan. Sehingga pertumbuhan pendapatan nasional, selama
ini, telah dijadikan tujuan pembangunan di negara-negara dunia ketiga.
Seolah-olah ada asumsi bahwa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat secara
otomatis ditunjukkan oleh adanya peningkatan pendapatan nasional (pertumbuhan
ekonomi). Walaupun demikian, beberapa ahli menganggap penggunaan indikator ini
mengabaikan pola distribusi pendapatan nasional. Indikator ini tidak mengukur
distribusi pendapatan dan pemerataan kesejahteraan, termasuk pemerataan akses
terhadap sumber daya ekonomi.
2.
Struktur ekonomi
Telah menjadi asumsi bahwa peningkatan pendapatan per
kapita akan mencerminkan transformasi struktural dalam bidang ekonomi dan
kelas-kelas sosial. Dengan adanya perkembangan ekonomi dan peningkatan per
kapita, konstribusi sektor manupaktur/industri dan jasa terhadap pendapatan
nasional akan meningkat terus. Perkembangan sektor industri dan perbaikan
tingkat upah akan meningkatkan permintaan atas barang-barang industri, yang
akan diikuti oleh perkembangan investasi dan perluasan tenaga kerja. Di lain
pihak , kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan nasional akan semakin
menurun.
3. Urbanisasi
Urbanisasi dapat diartikan sebagai meningkatnya proporsi
penduduk yang bermukim di wilayah perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan.
Urbanisasi dikatakan tidak terjadi apabila pertumbuhan penduduk di wilayah
urban sama dengan nol. Sesuai dengan pengalaman
industrialisasi di negara-negara eropa Barat dan Amerika Utara, proporsi
penduduk di wilayah urban berbanding lurus dengn proporsi industrialisasi. Ini
berarti bahwa kecepatan urbanisasi akan semakin tinggi sesuai dengan cepatnya
proses industrialisasi. Di Negara-negara industri, sebagain besar penduduk
tinggal di wilayah perkotaan, sedangkan di Negara-negara yang sedang berkembang
proporsi terbesar tinggal di wilayah pedesaan. Berdasarkan fenomena ini,
urbanisasi digunakan sebagai salah satu indicator pembangunan.
4. Angka Tabungan
Perkembangan
sector manufaktur/industri selama tahap industrialisasi memerlukan investasi
dan modal. Finansial capital merupakan factor utama dalam proses
industrialisasi dalam sebuah masyarakat, sebagaimana terjadi di Inggeris pada
umumnya Eropa pada awal pertumbuhan kapitalisme yang disusul oleh revolusi
industri. Dalam masyarakat yang memiliki produktivitas tinggi, modal usaha ini
dapat dihimpun melalui tabungan, baik swasta maupun pemerintah.
5. Indeks Kualitas Hidup
IKH atau Physical
Qualty of life Index (PQLI) digunakan untuk mengukur kesejahteraan dan
kemakmuran masyarakat. Indeks ini dibuat indicator makroekonomi tidak dapat
memberikan gambaran tentang kesejahteraan masyarakat dalam mengukur
keberhasilan ekonomi. Misalnya,
pendapatan nasional sebuah bangsa dapat tumbuh terus, tetapi tanpa diikuti oleh
peningkatan kesejahteraan sosial. Indeks ini dihitung berdasarkan kepada (1)
angka rata-rata harapan hidup pada umur satu tahun, (2) angka kematian bayi,
dan (3) angka melek huruf.
Dalam indeks ini,
angka rata-rata harapan hidup dan kematian b yi akan dapat menggambarkan status
gizi anak dan ibu, derajat kesehatan, dan lingkungan keluarga yang langsung
beasosiasi dengan kesejahteraan keluarga. Pendidikan yang diukur dengan angka
melek huruf, dapat menggambarkan jumlah orang yang memperoleh akses pendidikan
sebagai hasil pembangunan. Variabel ini menggambarkan kesejahteraan masyarakat,
karena tingginya status ekonomi keluarga akan mempengaruhi status pendidikan
para anggotanya. Oleh para pembuatnya, indeks ini dianggap sebagai yang paling
baik untuk mengukur kualitas manusia sebagai hasil dari pembangunan, disamping
pendapatan per kapita sebagai ukuran kuantitas manusia.
6. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index)
The
United Nations Development Program (UNDP)
telah membuat indicator pembangunan yang lain, sebagai tambahan untuk beberapa
indicator yang telah ada. Ide dasar yang melandasi dibuatnya indeks ini adalah
pentingnya memperhatikan kualitas sumber daya manusia. Menurut UNDP,
pembangunan hendaknya ditujukan kepada pengembangan sumberdaya manusia. Dalam
pemahaman ini, pembangunan dapat diartikan sebagai sebuah proses yang bertujuan
m ngembangkan pilihan-pilihan yang dapat dilakukan oleh manusia. Hal ini
didasari oleh asumsi bahwa peningkatan kualitas sumberdaya manusia akan diikuti
oleh terbukanya berbagai pilihan dan peluang menentukan jalan hidup manusia
secara bebas.
Pertumbuhan
ekonomi dianggap sebagai factor penting dalam kehidupan manusia, tetapi tidak
secara otomatis akan mempengaruhi peningkatan martabat dan harkat manusia.
Dalam hubungan ini, ada tiga komponen yang dianggap paling menentukan dalam
pembangunan, umur panjang dan sehat, perolehan dan pengembangan pengetahuan,
dan peningkatan terhadap akses untuk kehidupan yang lebih baik. Indeks ini
dibuat dengagn mengkombinasikan tiga komponen, (1) rata-rata harapan hidup pada
saat lahir, (2) rata-rata pencapaian pendidikan tingkat SD, SMP, dan SMU, (3)
pendapatan per kapita yang dihitung berdasarkan Purchasing Power Parity.
Pengembangan manusia berkaitan erat dengan peningkatan kapabilitas manusia yang
dapat dirangkum dalam peningkatan knowledge, attitude dan skills,
disamping derajat kesehatan seluruh anggota keluarga dan lingkungannya.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Sejarah
Perkembangan Industri Mobil Nasional
Perkembangan industri otomotif di
Indonesia didorong oleh kebijakan Pemerintah yang mengatur sektor tersebut,
kemajuan teknologi dan situasi ekonomi. Industri
otomotif di Indonesia mulai berkembang pada tahun 1970, ketika itu
Pemerintah Indonesia mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mendukung industri
otomotif di Indonesia seperti SK Menteri Perindustrian No.307/M/SK/8/76, SK
Menteri Perindustrian No.231/M/SK/11/78 dan SK Menteri Perindustrian
No.168/M/SK/9/79. Selain itu Pemerintah juga mengeluarkan serangkaian peraturan
yang dikenal dengan sebutan Program Penanggalan. Kebijakan ini menerapkan bea
masuk yang tinggi terhadap kendaraan – kendaraan yang tidak menggunakan stamping
parts yang diproduksi dalam negeri. Pada masa itu Pemerintah lebih
memfokuskan pada kendaraan – kendaraan minibus dan komersial salah satunya
dengan pemberian keringanan pajak dan memberikan pajak yang tinggi terhadap
kendaraan – kendaraan seperti sedan.
Memasuki
tahun 1980-an
perkembangan industri otomotif mengalami pasang surut karena dikarenakan
beberapa kendala seperti adanya devaluasi Rupiah pada tahun 1983 (27,5%) dan
pada tahun 1986 (31,0%). Selain itu juga ditambah dengan adanya kebijakan uang
ketat pada tahun 1987. Penjualan kendaraan bermotor yang pada akhir tahun 1981
berada di kisaran 208.000 unit, menurun antara 150.000 dan 170.000 unit pada
tahun – tahun berikutnya.
Pada tahun
1990-an
Pemerintah mengganti Program Penanggalan dengan Program Insentif yang dikenal
dengan Paket Kebijakan Otomotif 1993. Produsen mobil diperbolehkan memilih
sendiri komponen mana yang akan menggunakan produk lokal dan akan mendapatkan
potongan bea masuk, atau bahkan dibebaskan dari bea masuk, jika berhasil
mencapai tingkat kandungan lokal tertentu. Program ini telah dijalankan oleh
Toyota dengan Kijang generasi ketiganya (1986 – 1996) dimana kandungan lokalnya
sudah mencapai 47%. Begitu juga yang dilakukan oleh Indomobil yang mengeluarkan
mobil Mazda MR (Mobil Rakyat). Di tahun 1996 Pemerintah memutuskan untuk
mempercepat Program Insentif dan memperkenalkan Program Mobil Nasional dengan
mengatur bahwa untuk mendapatkan pembebasan bea masuk, perusahaan harus mencapai
tingkat kandungan lokal sebesar 20 persen, 40 persen dan 60 persen di tahun
pertama, kedua dan ketiga. Surat Instruksi Presiden (Inpres) No.2/1996 tentang
Program Mobil Nasional, dikeluarkan untuk memperbaiki sistem deregulasi untuk
menyambut adanya pasar bebas tahun 2003. PT. Timor Putra Nasional (TPN) yang
bermitra dengan KIA Motors dari Korea Selatan adalah perusahaan pertama yang
mendapatkan pembebasan bea masuk barang mewah melalui program ini. TPN
dipercaya untuk memproduksi mobil nasional yang bernama Timor (Teknologi
Industri Mobil Rakyat). Pada bulan Juni 1996, Pemerintah kembali mengeluarkan
Keputusan Presiden (Keppres) No.42 yang berisi tentang diizinkannya TPN
mengimpor mobil utuh dari Korea Selatan asalkan mobil Timor dikerjakan tenaga kerja
asal Indonesia di pabrik Kia di Korea Selatan, serta dalam waktu 3 tahun, TPN
harus bisa memenuhi kandungan lokal pada mobil Timor-nya sebanyak 60%.
Perusahaan – perusahaan otomotif lain (Jepang, Amerika Serikat dan Eropa) yang
tidak mendapatkan insentif pajak yang sama, melakukan protes ke World Trade
Organization(WTO). Sebenarnya Inpres itu juga mengatur, siapapun bisa
mendapatkan predikat mobil nasional yaitu bila komponen lokalnyasudah mencapai
60% dengan memakai merek nasional dan dilakukan oleh perusahaan swasta
nasional, bukan kepanjangan tangan dari prinsipal. Pembebasan pajak barang
mewah, selain bea masuk, untuk kendaraan yang memiliki kandungan lokal 60
persen mendorong produsen untuk menanamkan modal dalam pabrik – pabrik baru
seperti pabrik mesin dan casting, yang menghasilkan barang setengah jadi.
Selain Timor, berkembang juga merek – merek nasional lain seperti Sena, Morina
(Bakrie), Maleo, Perkasa, Kancil dan Astra. Namun sayangnya keberadaan mereka
tak semulus Timor yang dipimpin oleh Tommy Soeharto. Timor digugat Jepang dan
Amerika Serikat di WTO dan akhirnya TPN kalah. Proyek Timor semakin suram
ketika krisis ekonomi tahun 1997 datang dan pada puncaknya ketika rezim
Presiden Soeharto jatuh pada bulan Mei 1998. Angka penjualan mobil juga ikut
menurun menjadi 58.000 unit di tahun 1998, jauh berbeda jika dibandingkan
dengan tahun 1997 yang mencatat angka sebesar 392.000 unit.
Memasuki
tahun 2000,
Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Otomotif 1999 yang bertujuan untuk
mendorong ekspor produk otomotif, menggerakkan pasar domestik dan memperkuat
struktur sektor otomotif dengan mengembangkan industri pembuatan komponen.
Potensi untuk mengimpor kendaraan secara utuh (CBU) dibuka lagi, tidak seperti
tahun – tahun sebelumnya dimana sangat sulit sekali untuk mengimpor kendaraan
CBU. Adapun tujuannya dibukanya keran impor kendaraan CBU selain karena saat
ini sudah masuk ke era pasar bebas, juga diharapkan agar mobil rakitan lokal
(CKD) termotivasi untuk meningkatkan kualitas kendaraannya guna menghadapi
serbuan kendaraan CBU. Para pemain lokal tidak hanya berlomba – lomba
meningkatkan kualitas tetapi juga menekan harga dengan cara memperbanyak jumlah
komponen lokal yang terkandung di dalam kendaraan tersebut.
Industri otomotif bisa dikatakan sebagai salah satu mesin
penggerak pertumbuhan ekonomi, sekaligus menandai ledakan kemakmuran. Pabrikan
otomotif pula menjadi ciri kemunculan negara dominasi perekonomian dunia.
Tentunya yang menjadi pertanyaan, apakah Indonesia mampu atau apakah diperlukan
untuk mewujudkan impian memiliki mobnas tersebut.
3.2 Faktor
Penghambat Industri
Mobil Nasional
Kemunculan mobnas
Indonesia setelah hampir 10 tahun lamanya tenggelam sebenarnya belum pula
memiliki bentuk. Mobnas seharusnya memiliki yang disebut ‘The Character of Nation’. Jika melihat nama produknya dan
kiprahnya yang telah mereka lakukan bisa dikatakan pelakunya sendiri terkesan
pragmatis. Dapat dimaklumi, karena dukungan dari pemerintah pun masih setengah
hati. Eforia mobil Esemka sebenarnya cukup berbahaya, karena jika tidak
memberikan harapan yang berkelanjutan, maka akan menenggelamkan kiprah
kebangkitan mobnas di negeri ini.
Jika dikatakan mampu atau tidak mampu, tentu saja
jawabannya Indonesia mampu untuk mewujudkan mobnas. Bahan baku untuk pembuat
mobnas sudah tersedia seluruhnya di negeri ini. Sumberdaya manusia tidak lagi
diragukan untuk ukuran suatu negara yang sudah mampu membuat pesawat terbang
melalui industri dirgantara. Permasalahannya terletak pada kemampuan bangsa
untuk membuat suatu perencanaan dan merubah mindset.
Sikap pemerintah sebenarnya tidak pernah jelas dalam membuka pintu maupun keistimewaan kepada orang asing. Kebijakan atas penanaman modal asing (PMA) selama ini hanyalah merupakan jawaban untuk permasalahan keterbatasan kapital dan tabungan dalam negeri untuk mendukung teori pertumbuhan ekonomi model Harrod Domar. Mewujudkan mobnas tidak bisa hanya sekedar mendukung realisasi PMA, melainkan harus dilandasi sikap untuk mewujudkan kemandirian nasional. Dalam hal ini, dengan melihat potensi pasar dan ketersediaan bahan baku tentunya sudah selayaknya negeri ini mewujudkan mobnas, setidaknya untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
Sikap pemerintah sebenarnya tidak pernah jelas dalam membuka pintu maupun keistimewaan kepada orang asing. Kebijakan atas penanaman modal asing (PMA) selama ini hanyalah merupakan jawaban untuk permasalahan keterbatasan kapital dan tabungan dalam negeri untuk mendukung teori pertumbuhan ekonomi model Harrod Domar. Mewujudkan mobnas tidak bisa hanya sekedar mendukung realisasi PMA, melainkan harus dilandasi sikap untuk mewujudkan kemandirian nasional. Dalam hal ini, dengan melihat potensi pasar dan ketersediaan bahan baku tentunya sudah selayaknya negeri ini mewujudkan mobnas, setidaknya untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
Mobil Kijang (Toyota)
pertama dirakit di negeri ini pada tahun 1977. Sekalipun demikian, Indonesia
baru berpikir untuk membuat mobil sendiri pada tahun 1996. Industrialisasinya
sudah dimulai sejak 1977, akan tetapi kemandiriannya baru dipikirkan sejak
tahun 1996. Apa sekiranya progress yang sudah dihasilkan selama rentang waktu
tersebut?
Industri mobil termasuk
ke dalam kelompok industri otomotif dan teknologi. Hampir sebagian besar
disiplin ilmu eksakta terlibat di dalamnya. Misal saja, insinyur desain,
insinyur metalurgi, insinyur kimia, insinyur mesin, insinyur listrik dan
elektronika, insinyur industri (produksi), dan masih dimungkinkan ditambahkan
disiplin ilmu lain apabila terjadi pengembangan teknologi. Pengujian tidak
hanya dilakukan pada tahap pembuatan mobil, melainkan ketika masih dilakukan
tahap pembuatan komponen. Dari gambaran industri mobil tersebut dapat diketahui
terdapat 2 elemen yang menjadi pendukung industri, yaitu sumberdaya manusia dan
kesiapan teknologi. Kesalahan pembuat kebijakan industri mobil di masa lalu, karena
tidak mengharuskan terjadinya alih teknologi. Tentu saja, alih teknologi
bertujuan untuk mempersiapkan sumberdaya manusia dan faktor pendukungnya, yaitu
industri komponen. Pemerintah di masa lalu memberikan hak atas penguasaan pasar
kepada prinsipal dari Jepang melalui ATPM di Indonesia. Hak penguasaan pasar
bahkan meliputi pula penguasaan atas suku cadang. Penguasaan pasar itu sendiri
tentu saja akan berdampak memunculkan mindset ‘impor minded’. Perencanaan
jangka panjang ataupun jangka pendek sama sekali tidak ada, sekalipun proyek
Kijang sendiri sudah dibangun sejak 1977.
Jika diperhatikan,
kemunculan mobnas di era 1996 memperlihatkan ketiadaan faktor pendukung,
termasuk sumberdaya manusia. Maleo sampai harus dirakit dulu di Australia.
Kemudian Timor dan Cakra harus dipesan dari pabriknya di Korea Selatan. Di
tanah air ketika itu memang belum dipersiapkan sarana pendukungnya yang baru
hendak dirintis. Hal ini menunjukkan apabila keberadaan PMA (Jepang) di bidang
otomotif tidak memberikan manfaat apapun.
Pada ulasan terdahulu telah disampaikan apabila salah satu syarat untuk bisa disebut mobnas memiliki kandungan komponen lokal di atas 80%. Ini berarti industri mobnas harus dimulai atau diawali dengan keberadaan industri komponen. Kendaraan bermotor memiliki sejumlah komponen yang disebut juga suku cadang, seperti komponen untuk bagian interior, komponen body, perangkat elektronik/kelistrikan, komponen kemudi, komponen mesin, dan lain-lain. Pengembangan industri komponen tersebut akan mempersiapkan pula sumberdaya manusia dan sarana pendukung lainnya.
Pada ulasan terdahulu telah disampaikan apabila salah satu syarat untuk bisa disebut mobnas memiliki kandungan komponen lokal di atas 80%. Ini berarti industri mobnas harus dimulai atau diawali dengan keberadaan industri komponen. Kendaraan bermotor memiliki sejumlah komponen yang disebut juga suku cadang, seperti komponen untuk bagian interior, komponen body, perangkat elektronik/kelistrikan, komponen kemudi, komponen mesin, dan lain-lain. Pengembangan industri komponen tersebut akan mempersiapkan pula sumberdaya manusia dan sarana pendukung lainnya.
Kesalahan kebijakan otomotif di masa
lalu membiarkan prinsipal dan ATPM otomotif dari asing memonopoli industri dari
bagian hilir hingga ke hulu. Misalnya, Toyota ketika itu tidak hanya merakit
dan menjual mobil, melainkan membuat dan menjual suku cadang. Keistimewaan dan
peluang tersebut diikuti pula oleh ATPM lainnya, termasuk di kelas kendaraan
roda dua. Tidak ada kebijakan yang mengharuskan mereka untuk menggandeng
industri lokal untuk turut membuat suku cadang, kecuali masih berada dalam satu
atap grup usaha. Monopoli semacam ini tentu sangat merugikan dan tidak banyak
memberikan peluang pelaku industri komponen lokal untuk berkembang.
Mewujudkan impian bisa
memiliki mobnas harus dilandasi kemauan untuk mandiri, yaitu kemandirian di
bidang otomotif. Ini sangat tidak mudah, karena upaya untuk mewujudkannya akan
menemuai cukup banyak rintangan yang disebut ancaman, tantangan, hambatan, dan
gangguan (ATHG). Realitanya, bahwa Indonesia selama ini dikenal sebagai pasar
bagi produk-produk impor. Tidak sedikit international brand yang sudah cukup lama berkiprah di negeri ini. Jepang
tentunya adalah pihak yang paling punya kepentingan atas penguasaan pasar
otomotif di Indonesia.
Ancaman yang
diidentifikasikan untuk upaya dalam mewujudkan industri mobnas adalah
kepentingan politik dan kebijakan. Pemerintah harus punya keberanian dengan
segala resiko politiknya untuk mengubah haluan kebijakan di bidang otomotif.
Seperti kita ketahui, apabila pemerintah sangat membutuhkan kepercayaan
internasional. Perubahan sikap politik pemerintah akan berdampak pada
kepercayaan internasional, sehingga akan mengancam stabilitas politik di dalam
negeri. Kita tidak akan menutup mata, apabila kemunculan upaya untuk mewujudkan
mobnas pada tahun 1996 diikuti dengan kejatuhan Soeharto. Lebih dari 40 tahun
lamanya industri otomotif asing telah menguasai pasar otomotif dan
distribusinya di negeri ini. Tentu saja, kepentingan ekonominya pun sangat
tinggi. Satu-satunya ancaman yang bisa diidentifikasikan berasal dari luar
negeri yang nantinya akan berimbas ke dalam negeri.
Sejak lama Indonesia
telah menjadi negara konsumen dan sekaligus target pasar internasional.
Propaganda penjualan produk-produk impor akan menanamkan paradigma ‘import minded’. Perspektif masyarakat
yang saat ini lebih percaya dengan merek (brand) asing, ketimbang merek lokal.
Foreign brand atau import minded yang nantinya menjadi tantangan dalam upaya
untuk mewujudkan industri mobnas.
Bentuk penghambat dalam upaya untuk
mewujudkan industri mobnas terletak pada kesiapan infrastruktur dan
birokrasinya. Sekalipun memiliki bahan baku yang memadai, akan tetapi industri
pengolahannya masih relatif minim. Kebanyakan komponen dasar otomotif dibuat di
negara sebelum nantinya diolah kembali di dalam negeri. Tentu saja hal semacam
ini akan menjadi penghambat di awal pengembangan industri mobnas yang nantinya
akan memiliki kandungan di atas 80% atau sebisa mungkin 100% komponennya
diproduksi sendiri. Masalah birokrasi termasuk yang nantinya akan banyak
menjadi kendala dan menghambat upaya untuk mewujudkan pengembangan fondasi
industri mobnas, seperti pengembangan industri komponen. Jika tidak dapat
dieleminasi, maka akan semakin menaikkan biaya atas risiko industri.
Masalah gangguan bisa
bervariasi, akan tetapi dengan obyektif melihat kondisi saat ini tentunya akan
berpangkal pada aspek permodalan, aspek geografis, dan transisi kebijakan.
Dukungan pemerintah tentunya akan membutuhkan biaya dan mengalokasikan dari
anggaran. Kesiapan anggaran ini pun nantinya akan mengalami tarik ulur
kepentingan dan orientasi. Dari pihak swasta (korporasi lokal) tentunya akan
membutuhkan alokasi dana tambahan dalam pengembangan industri komponen maupun
ketika menuju tahap pengembangan mobnas. Risiko modal akan menjadi sangat
tinggi, karena situasi perekonomian dunia dan ketidakstabilan harga minyak
dunia. Belum pula nantinya ditambahkan dengan isu kemacetan transportasi dan
penghematan bahan bakar minyak. Butuh momentum yang tepat untuk setiap
perencanaan dan tahapan-tahapannya, termasuk pula koordinasi dengan kebijakan
energi.
Dalam hal ini, industri
mobnas dan industri komponen tentunya tidak akan tersentralistik di Pulau Jawa.
Otonomi daerah belum menjamin akan mampu mendukung mobilisasi kapital di dalam
negeri. Kesiapan infrastruktur salah satunya yang akan mengganggu proses dan progress
dalam upaya mewujudkan industri mobnas dan industri komponen. Di lain pihak,
transisi kebijakan akan menciptakan dampak negatif dalam pasar dan
distribusinya. Kita masih ingat, ketika mobil Timor diberikan stigma negatif
untuk menjatuhkan citra produk. Tentu saja, stigma semacam itu disebarkan oleh
pihak yang tidak senang jatah pasarnya berkurang.
Tidak seperti
negara-negara yang jauh lebih dulu merintis industri mobil nasional, Indonesia
harus memulai dengan strategi yang berbeda. Selain perencanaan, dibutuhkan pula
komitmen nasional untuk mewujudkan bangsa yang mandiri dan berdikari (berdiri
di atas kaki sendiri). Segala risiko mungkin harus diterima sebagai bentuk
konsekuensinya, bahwa bangsa ini akan menjawab kesalahannya di masa lalu.
Produksi mobil
nasional hangat diawal, namun melempem kemudian. Sejak tahun 90’an, setidaknya
sudah belasan produk Mobnas yang terbengkalai. Indonesia dengan jumlah penduduk 260 juta jiwa menjadi
potensi pasar bagi produsen berbagai jenis kendaraan. Hal ini didukung pertumbuhan
ekonomi yang terus menggeliat di kalangan menengah. Jepang, Eropa, Malaysia,
Amerika, dan terakhir Cina terus membanjiri Indonesia dengan produk
otomotifnya.
Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) tentu menjadi raja.
Pemberi regulator alias pemerintah pun tentu menangguk untung. Termasuk dalam
kong-kalikong pemberian izin. Dampaknya, harga kendaraan tersebut bisa dua kali
atau bahkan tiga kali lipat saat dipasarkan di Indonesia. Jika Indonesia
membuat produk mobil nasional (Mobnas) sendiri tentu saja akan banyak yang
khawatir. Termasuk oknum-oknum di pemerintahan yang merasa akan kehilangan
pendapatan dari praktik kong-kalikong tersebut.
Hal ini terbukti dari peluncuran Mobnas Kiat Esemka karya
pelajar SMK dari Surakarta, Solo, Jawa Tengah. Memang, sejumlah petinggi negeri
ini seakan mendorong. Tetapi dalam praktiknya, hingga kini perizinan
mobil tersebut belum keluar dari pihak terkait. Walikota Solo Joko Widodo yang menggebrak produk
Mobnas tersebut dan menjadikannya sebagai kendaraan dinas pun sudah
mewanti-wanti. Ia mengkhawatirkan adanya pihak yang takut akan persaingan
dagang dengan kehadiran mobil ini di balik seretnya perizinan. "Soal ini
(perizinan) menjadi tugas pemerintah untuk mengatasinya.
Sebenarnya mobil Kiat Esemka yang diberi merek ‘Rajawali’ ini
bukan mobil baru. Mobil ini bersama dengan Digdaya merupakan hasil kerja sama
dari lima SMK yang ditunjuk PT Autocar Industri Komponen (AIK) sudah
diluncurkan sejak 2010 silam dan dipamerkan di JIExpo. Awalnya, para siswa SMK
Singosari, malah berhasil memproduksi mobil sebagai bahan praktek pelajaran
mereka. Kemudian
lahir pula mobil kreasi siswa SMK lain dari SMKN 5 Surakarta, SMKN 2 Surakarta,
SMK Warga Surakarta, dan SMK Muhammadiyah 2 Borobudur yang disbut Digdaya.
Sedangkan mahasiswa ITS, Surabaya, sudah
berhasil menciptakan mobil balap mini bernama Sapu Angin. Bahkan, Sapu Angin 2
dan 4 karya mereka berhasil mendapatkan penghargaan Shell Eco Marathon Asia
di Sepang, Malaysia.
Sejumlah
mobil nasional lainnya yang pernah diproduksi anak bangsa juga ada Komodo dari
PT Fin Komodo Teknologi dan Gea, karya PT Industri Kereta Api (Inka). Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga pernah menciptakan mobil listrik bernama
Marlip.
Ada lagi mobil hasil kerja sama anak negeri dengan perusahaan
otomotif internasional pada tahun 90-an, yaitu Maleo. Mobil yang masih dalam
konsep dan digarap IPTN sudah memiliki 11 macam konsep, namun gagal terealisasi
karena krisis politik dan ekonomi 1998. Yang paling heboh adalah Timor dan
Bimantara Cakra, kedua mobil ini merupakan import dengan komponen lokal.
Keduanya juga tidak berkembang.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Membangun kemandirian industri mobil nasional tidaklah
mudah, banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, tetapi apakah Indonesia mampu
mebuat mobil nasional, jika dikatakan mampu atau
tidak mampu, tentu saja jawabannya Indonesia mampu untuk mewujudkan mobnas.
Bahan baku untuk pembuat mobnas sudah tersedia seluruhnya di negeri ini.
Sumberdaya manusia tidak lagi diragukan untuk ukuran suatu negara yang sudah
mampu membuat pesawat terbang melalui industri dirgantara. Permasalahannya
terletak pada kemampuan bangsa untuk membuat suatu perencanaan yang
matang dan konsisten serta merubah mindset
untuk menjadi negara yang mandiri khususnya dalam industri otomotif dan
industri strategis lainnya.
Diharapkan
dengan adanya mobil nasional ini kebutuhan akan sarana transportasi yang
terjangkau, aman, berkualitas serta “karya anak negeri” dapat terpenuhi
guna mewujudkan kemandirian industri mobil nasional serta meningkatkan daya
saing bangsa di kancah industri otomotif dunia.
4.2 Rekomendasi
1.
Untuk mewujudkan kemandirian industri mobil nasional,
Pemerintah diharapkan membuat suatu perencanaan yang
matang dan konsisten serta membuat
kebijakan yang mendukung industri mobil nasional. Selain itu pemerintah
menyediakan sarana dan prasarana yang sangat memnadai guna mensuukseskan
produksi mobil nasional ini.
2.
Sebagai
sebuah bangsa, mencintai serta menggunakan
produk dalam negri adalah mutlak. Dengan adanya mobil nasional ini
diharapkan seluruh masyarakat mendukung penuh program mobil nasional ini.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi,Ridwan
(2011). Panduan Kuliah Pendidikan
Lingkungan Sosial, Budaya dan Teknologi;
Bandung : Maulana Media Grafika
Malihah,Elly Ridwan (2011). Panduan Kuliah Pendidikan Lingkungan Sosial,
Budaya dan Teknologi;
Bandung : Maulana Media Grafika
Soekanto,Soerjono
(2006). Sosiologi Suatu Pengantar; Jakarta : Rajawali Press
Badrudin
, Syamsiah, 2009. Teori dan Indikator Pembangunan.
[online].
Tersedia:
Tangal Akses: 28 Februari 2012
http://agsasman3yk.wordpress.com/2009/08/04/perubahan-sosial-modernisasi-dan-pembangunan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar